Kisah Kemarahan Pasukan Inggris Yang Menyerang di Langit Cibadak, Sukabumi
Jakarta - Marah karena pasukannya dihadang secara besar-besaran oleh para pejuang Indonesia, militer Inggris mengerahkan sejumlah pesawat tempurnya untuk membom Sukabumi.
Hujan kertas memenuhi langit Cibadak di Sukabumi hari itu. Persis di hari ke-10 bulan Desember 1945, sebuah pesawat pembom Inggris menyebarkan ribuan surat kepada orang-orang Indonesia.
Isinya: seruan
agar para pejuang Indonesia menyerah dan penduduk sipil menyingkir
beberapa jam setelah penjatuhan selebaran itu. Namun tak ada sama sekali
respons dari pihak TKR dan kelompok lasykar.
Akibatnya, sekitar lima jam kemudian muncul-lah kembali burung-burung
perang milik Inggris. Mereka terdiri dari empat Mosquito dan enam
Thunderbolt yang datang dari arah pangkalan udara Cililitan (sekarang
pangkalan udara Halim Perdanakusumah), Jakarta.
Setelah bermanuver sebentar di atas langit Sukabumi, pesawat-pesawat
tempur itu mulai mengamuk. Dari tubuhnya, mereka menjatuhkan bom-bom
seberat 500 extra pound, disertai siraman peluru dari senapan mesin
12,7. Pesta penghancuran Cibadak secara membabibuta pun segera dimulai.
"RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) menjalankan penyerangan lewat
udara yang paling dasyat selama keterlibatan mereka dalam 'Perang
Jawa'..."tulis Letnan Kolonel A.J.F. Doulton dalam The Battling Dick:
The Story of The 23rd Indian Division.
Doulton juga mencatat. sejak dihadang secara besar-besaran oleh para
pejuang Indonesia di Bojongkokosan pada 9 Desember 1945, tentara Inggris
berupaya mencari titik sumber serangan itu terjadi.
Untuk mendapat
informasi itu bukan hanya tenaga telik sandi saja yang disebar, namun
juga beberapa pesawat pengintai pun ikut dikerahkan.
Karena terletak di antara Bojongkokosan-Cikukulu (dua tempat di mana
tentara Inggris menderita korban yang cukup banyak), intelijen militer
Inggris menyimpulkan bahwa pusat pertahanan para pejuang Indonesia
adalah Cibadak, sebuah kota kecamatan yang merupakan bagian dari
Sukabumi.
"Mereka kecele, kita tidak pernah berbasis di sana,"ujar Letnan Kolonel
(Purn) Eddie Soekardi, Komandan Resimen ke-3 TKR (Tentara Keamanan
Rakjat) yang membawahi Sukabumi dan Cianjur.
Pemboman itu menyebabkan Cibadak luluh lantak. Hampir sebagian besar
wilayahnya menjadi lautan api lengkap dengan bumbungan asap tebal
berwarna hitam. Gedung-gedung dan rumah-rumah praktis menjadi
puing-puing.
Puluhan mayat bergelimpangan di jalanan. Sebagain dari
mereka adalah pejuang Indonesia atau penduduk sipil yang tak sempat
menyingkir ke tempat aman kala serangan udara Inggris dimulai siang itu.
Dari pihak pejuang Indonesia, perlawanan hanya bisa dilakukan secara
minimal. Menurut Eddie, selain tak memiliki meriam penangkis serangan
udara, di Cibadak kehadiran para pasukan TKR dan anggota lasykar memang
hanya sedikit.
Ada memang balasan, namun itu hanya dilakukan dengan senjata-senjata kaliber ringan peninggalan tentara Jepang. Seorang anggota TKR bernama Ojong Bantamer dikabarkan melakukan perlawanan yang nekat.
Dia memanjat pohon kelapa sambil membawa senjata
ringan. Dari atas pohon kelapa itulah, Ojong lantas menembaki
pesawat-pesawat tempur Inggris.
"Kedengarannya memang konyol, tapi entah karena lagi beruntung, tembakan
si Ojong berhasil merusak sayap salah satu pesawat tempur itu,"ujar
Uwoh, salah seorang eks pejuang Sukabumi dari laskar Hizbullah.
Usai pemboman yang berlangsung satu jam itu (menurut pihak Indonesia
berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dua kali), Cibadak ada
dalam kondisi tak menentu. Serpihan tembok memenuhi kota dan hampir
dipastikan sebagian besar infrastruktur hancur lebur.
Korban nyawa
sendiri tak bisa dipastikan jumlahnya. Namun menurut Eddie Soekardi yang
jelas bisa mencapai angka ratusan. "Anak buah saya sendiri yang gugur akibat pemboman itu berjumlah lebih dari 40 orang ..."ungkapnya.
Salah satu bukti dari amuk Inggris di Cibadak itu masih dapat kita
temukan hari ini. Di depan gedung Sekolah Dasar Negeri III Cibadak ada
sebuah tugu berbentuk bom. Menurut Uwoh, sebenarnya itu adalah bom asli
yang kemudian dijadikan tugu.
"Jatuhnya memang di sana, tapi tidak sempat meledak. Entah kenapa,"ujar lelaki kelahiran Sukabumi pada 1925 itu.
Komentar
Posting Komentar