Kisah Kekecewaan Brigadir Mallaby Terhadap Atasannya
Jakarta - Di balik ketegasan sikapnya kepada para pejuang Indonesia di Surabaya, Brigadier Mallaby ternyata menyimpan rasa malu dan kecewa kepada atasannya. Usai bertemu dengan perwakilan para pejuang Indonesia di Surabaya pimpinan Jenderal Mayor Moestopo, Brigadier A.W.S. Mallaby sempat merasa gembira.
Dalam surat yang ditujukan kepada istrinya Mollie (Margaret
Catherine Jones), Komandan Brigade Infanteri ke-49 British Indian
Military (BIA) itu menyebut bahwa kesepakatan tersebut telah membuat
dirinya bisa mencegah pertumpahan darah.
"Keamananan dan ketertiban di Surabaya mulai bisa aku kendalikan ..."ujar Mallaby seperti dikutip Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya
November 1945.
Namun baru saja berlangsung beberapa jam, kesepakatan itu harus hancur
lebur. Pada 27 Oktober 1945, sebuah pesawat dakota melayang-layang di
atas Surabaya.
Dari pesawat milik Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF)
itu disebar ribuan pamflet yang langsung ditandatangani oleh Mayor
Jenderal D.C. Hawtorn, panglima Sekutu untuk Jawa, Madura, Bali dan
Lombok.
"Isinya ancaman kepada seluruh rakyat Surabaya untuk wajib mengembalikan
seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang
menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat," ungkap Nugroho
Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Ultimatum itu tentu saja membuat para pimpinan pejuang Indonesia marah dan kecewa. Satu jam setelah itu, pimpinan TKR di Surabaya Jenderal Mayor drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Mallaby.
Mereka menggugat sang brigadier sebagai pengecut. Mallaby sendiri
berkilah tidak tahu menahu soal penyebaran pamflet yang langsung
dilakukan oleh pimpinannya di Batavia tersebut.
"Namun sebagai perwira British, meski saya sudah menandatangani
persetujuan dengan para pemimpin Republik di Surabaya, saya harus
mematuhi instruksi panglima saya," kata Mallaby seperti dicatat oleh Des
Alwi.
Jawaban Mallaby membuat Moestopo dan Soedirman sangat kecewa. Mereka
berdua menyatakan kekecewannya dan menyindir orang-orang Inggris sebagai
pihak yang tidak ksatria dalam melaksanakan janji.
Sejatinya Mallaby sendiri diam-diam merasa malu dan kecewa. Dalam The
British Occupation of Indonesia 1945-1946, Richard McMillan menceritakan
begitu selesai membaca isi pamflet yang dibawakan asistennya yakni
Kapten Douglas McDonald, dia terdiam seribu bahasa.
"Apa yang hendak Anda lakukan, Sir?"kata McMonald.
"Saya akan mematuhinya ..."jawab Mallaby lirih.
"Tapi Anda telah berjanji. Sebagai seorang perwira dan wakil Yang Mulia
Raja Inggris Anda sudah berjanji kepada mereka kita di sini bukan untuk
melucuti senjata mereka tapi melaksanakan apa yang dijalankan
komite-komite lalu pergi?"gugat McDonald.
Mallaby terdiam. Dalam nada resah dan marah, dia memandang tajam McDonald.
"Jadi siapa sebenarnya komandan di brigade ini? Kamu atau saya ?!"bentaknya.
Mallaby memang galau hari itu. Beberapa saat usai bertemu dengan
Moestopo dan Sudirman, dia curhat kepada Mollie lewat sepucuk surat.
Dalam nada kecewa dan putus asa, Mallaby menyebut Jenderal Hawtorn
'telah merusak segalanya'.
"Pamflet ini adalah tamparan yang amat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi,"tulisnya.
Rahasia surat-surat pribadi Brigadier Mallaby kepada istrinya itu mulai
terkuak ketika dibacakan secara langsung oleh Anthony Mallaby (putra
tunggal Mallaby dan Mollie) di hadapan Des Alwi pada 2005.
Dalam suatu kunjungan khusus ke London, sejarawan sekaligus pelaku sejarah Pertempuran Surabaya itu memang sengaja menemui keluarga Mallaby guna mengkonfirmasi beberapa hal yang masih misterius terkait insiden pada akhir Oktober 1945 tersebut.
Komentar
Posting Komentar